Tanpa
disadari setiap hari kita selalu menggunakan olahan minyak sawit, baik untuk
menggoreng maupun sebagai campuran produk seperti mentega, margarin, pizza, coklat, sabun, es krim, dan kosmetik. Kebanyakan dari masyarakat, tidak
tahu bahkan tidak peduli jika minyak sawit yang terkandung dalam produk yang dikonsumsi
ramah lingkungan atau tidak.
Padahal
apa yang kita konsumsi memiliki dampak yang besar terhadap diri dan lingkungan
kita. Secara tidak langsung, saat kita mengonsumsi produk yang tidak ramah
lingkungan, maka saat itu juga kita ikut berkontribusi atas makin buruknya
kondisi lingkungan dan bisa saja kita menjadi pembajak kemerdekaan makhluk
hidup.
Keberadaan
perkebunan kelapa sawit menjadi pro dan kontra dikalangan masyarakat bahkan
dunia. Perkebunan kelapa sawit dianggap bertentangan dengan usaha pelestarian
lingkungan, terutama hutan dan keanekaragaman hayatinya. Pembukaan lahan untuk
kelapa sawit identik dengan timbulnya kerusakan hutan beserta segala dampak
buruk yang ditimbulkan. Baru-baru ini kita sering disibukan dengan permasalahan
kabut asap yang rutin melanda sebagian wilayah Indonesia setiap tahunnya. Kabut
asap disebabkan karena pembakaran hutan akibat adanya pengalihan lahan secara
besar-besaran menjadi perkebunan kelapa sawit. Ironisnya, pengalihan lahan
tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan, seperti
pembakaran hutan yang dapat menyebabkan kerusakan hayati.
Dalam konteks perubahan iklim (climate change), kabut asap menjadi
salah satu kontributor terbesar penyumbang emisi gas rumah kaca ke atmosfer
yang menyebabkan peningkatan temperatur bumi yang signifikan.
Tidak heran kalau sekarang kita
sulit untuk mendapatkan udara yang sejuk dan sehat. Bahkan di titik terjadinya
kabut asap, tidak sedikit masyarakat yang terkena berbagai penyakit gangguan
pernapasan, seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) akibat tebalnya
kabut asap karena pembakaran.
Pengalihfungsian
lahan hutan produktif menjadi kebun kelapa sawit secara besar-besaran, juga akan
mengancam kelangsungan hidup hewan-hewan langka. Dengan mengonversi hutan
menjadi perkebunan kelapa sawit, sama saja kita membajak habitat asli dari
hewan-hewan langka tersebut. Sangat jelas sekali dapat kita lihat di berbagai
media massa terjadi pembantaian orangutan
untuk pembukaan lahan. Pembantaian sangat mungkin terjadi, akibat
tingginya angka perubahan fungsi lahan. Data dari Indonesia Palm Oil Advocacy Team tahun 2010 mencatat, sedikitnya
terdapat sepuluh juta hektar lahan di Kalimantan yang merupakan “habitat asli”
bagi orangutan telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, memicu
mereka beralih ke pemukiman warga. Keberadaan orangutan di pemukiman warga ini
dianggap membahayakan, hal ini menimbulkan terjadinya berbagai tindak kekerasan
yang dialami orangutan. Sangat memprihatinkan, hewan langka yang dilindungi
oleh undang-undang, yang seharusnya dijaga
kelestariannya, kini direbut kemerdekaannya.
Ironisnya lagi,
dalam mengelola perkebunan kelapa sawit, menggunakan cara-cara atau manajemen
yang tidak kalah mengancam bagi kelangsungan hidup hewan. Faktanya 70% kematian
gajah disebabkan karena diracun oleh pemilik kebun sawit, gajah-gajah ini
dianggap sebagai parasit karena memakan ujung dari pohon sawit, terlebih jika
sawit ini sudah memasuki tahap panen. Cara ini dirasa praktis dan ampuh untuk
menghindari kerugian.
Tidak
hanya itu, akibat tidak adanya manajemen yang serius, praktek konversi hutan menjadi
perkebunan kelapa sawit seringkali menyebabkan terjadinya bencana alam seperti
banjir dan tanah longsor. Hal ini diakibatkan hilangnya pepohonan yang berfungsi
untuk menahan laju air. Menurut penelitian, hutan mampu membuat tanah menyerap
lebih banyak air 60-80%. Dengan kemampuan ini, keberadaan pohon dapat
meningkatkan cadangan air tanah. Selain dapat menahan laju air, akar pohon
berfungsi mencegah erosi tanah. Bayangkan jika semua hutan produktif diganti
dengan perkebunan kelapa sawit! Tentu saja akan berdampak buruk bagi alam kita.
Karena sifat dari kelapa sawit yang rakus unsur hara dan air, menyebabkan
terjadinya kekeringan parah pada saat musim kemarau. Tidak hanya itu, pengelolaan
perkebunan sawit yang tidak bertanggungjawab menjadi faktor pemicu degradasi
lahan dan pencemaran lingkungan.
Melihat fenomena tersebut, tentu
saja kita akan berfikir untuk tidak membuka perkebunan kelapa sawit. Namun, ini
merupakan anggapan yang keliru, karena kebutuhan produk yang berbahan kelapa
sawit semakin meningkat. Sebenarnya fungsi kelapa sawit dalam olahan produk
bisa diganti dengan minyak nabati lainnya, seperti kedelai. Namun, jika penggunaan
minyak kelapa sawit diganti,
tetap saja akan menimbulkan permasalahan yang serupa, bahkan bisa lebih serius. Untuk
menghasilkan jumlah minyak yang sama, tanaman kedelai membutuhkan lahan 4-10
kali lebih luas dibanding kelapa sawit. Tentu saja bisa dibayangkan, jumlah
hutan yang dikonversi menjadi lahan pertanian untuk menghasilkan minyak nabati
akan lebih besar dan kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih parah. Maka dari
itu, solusi yang tepat adalah memastikan produk yang kita gunakan mengandung
minyak kelapa sawit berkelanjutan.
Minyak kelapa sawit berkelanjutan (Sustainable
Palm Oil) bisa dilakukan dengan cara pengalihan lahan secara ramah
lingkungan. Aktivitas pembukaan lahan tidak dilaksanakan dengan
cara membakar, hal ini bertujuan untuk menghindari pencemaran udara yang
disebabkan kabut asap yang ditimbulkan dari aktivitas pembakaran hutan.
Pembukaan lahan dapat dilakukan dengan manajemen yang baik, dengan menggunakan
alat berat seperti Bulldozer. Penggunaan Bulldozer tidak akan mengikis lapisan
tanah paling subur, sehingga jauh lebih ramah lingkungan.
Sebagai konsumen yang
baik tentu saja kita akan mendukung terciptanya minyak kelapa sawit
berkelanjutan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita memastikan
bahwa produk yang kita gunakan mengandung minyak sawit berkelanjutan atau
tidak? Gampang saja, kita hanya memastikan produk yang kita gunakan berlogo
RSPO (Roundtable on Sustainable Palm
Oil). RSPO merupakan organisasi nirlaba yang bertujuan untuk memastikan
perkebunan kelapa sawit menggunakan cara-cara yang ramah lingkungan dalam
pengelolaannya.
Untuk mendukung
tercapainya tujuan Sustainable Palm Oil,
dibutuhkan kerjasama dari semua pihak, baik produsen maupun konsumen kelapa
sawit. Produsen minyak kelapa sawit diminta untuk berkomitmen dengan
mengupayakan sertifikasi operasional mereka sesuai standar RSPO. Sedangkan para
konsumen kelapa sawit diminta berkomitmen dengan membeli dan menggunakan kelapa
sawit yang sudah disertifikasi.
Jika produk yang kita
gunakan berlogo RSPO, sudah dapat dipastikan minyak sawit yang terkandung dalam produk, diproses
dengan operasi dan pengelolaan yang sah secara hukum, layak ekonomi, ramah
lingkungan dan bermanfaat sosial.
Tentunya gaya hidup konsumen yang
bijak ini menjadi ujung tombak untuk mengatasi segala permasalahan yang
berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit. Semoga setelah kita tahu segala ekses
buruk yang ditimbulkan dari pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang tidak
bertanggungjawab, kita dapat lebih bijak lagi dalam memilih produk yang akan
digunakan. Jangan sampai kita termasuk kedalam golongan pembajak kemerdekaan
makhluk lain yang tak berdosa, sekalipun kita tidak menyadarinya.