Saturday, October 17, 2015

Jadilah Konsumen Bijak, Bukan Pembajak!!!




Tanpa disadari setiap hari kita selalu menggunakan olahan minyak sawit, baik untuk menggoreng maupun sebagai campuran produk seperti mentega, margarin, pizza, coklat, sabun, es krim, dan kosmetik. Kebanyakan dari masyarakat, tidak tahu bahkan tidak peduli jika minyak sawit yang terkandung dalam produk yang dikonsumsi ramah lingkungan atau tidak. Padahal apa yang kita konsumsi memiliki dampak yang besar terhadap diri dan lingkungan kita. Secara tidak langsung, saat kita mengonsumsi produk yang tidak ramah lingkungan, maka saat itu juga kita ikut berkontribusi atas makin buruknya kondisi lingkungan dan bisa saja kita menjadi pembajak kemerdekaan makhluk hidup.
Keberadaan perkebunan kelapa sawit menjadi pro dan kontra dikalangan masyarakat bahkan dunia. Perkebunan kelapa sawit dianggap bertentangan dengan usaha pelestarian lingkungan, terutama hutan dan keanekaragaman hayatinya. Pembukaan lahan untuk kelapa sawit identik dengan timbulnya kerusakan hutan beserta segala dampak buruk yang ditimbulkan. Baru-baru ini kita sering disibukan dengan permasalahan kabut asap yang rutin melanda sebagian wilayah Indonesia setiap tahunnya. Kabut asap disebabkan karena pembakaran hutan akibat adanya pengalihan lahan secara besar-besaran menjadi perkebunan kelapa sawit. Ironisnya, pengalihan lahan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan, seperti pembakaran hutan yang dapat menyebabkan kerusakan hayati.
Dalam konteks perubahan iklim (climate change), kabut asap menjadi salah satu kontributor terbesar penyumbang emisi gas rumah kaca ke atmosfer yang menyebabkan peningkatan temperatur bumi yang signifikan. Tidak heran kalau sekarang kita sulit untuk mendapatkan udara yang sejuk dan sehat. Bahkan di titik terjadinya kabut asap, tidak sedikit masyarakat yang terkena berbagai penyakit gangguan pernapasan, seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) akibat tebalnya kabut asap karena pembakaran.

Pengalihfungsian lahan hutan produktif menjadi kebun kelapa sawit secara besar-besaran, juga akan mengancam kelangsungan hidup hewan-hewan langka. Dengan mengonversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, sama saja kita membajak habitat asli dari hewan-hewan langka tersebut. Sangat jelas sekali dapat kita lihat di berbagai media massa terjadi pembantaian orangutan  untuk pembukaan lahan. Pembantaian sangat mungkin terjadi, akibat tingginya angka perubahan fungsi lahan. Data dari Indonesia Palm Oil Advocacy Team tahun 2010 mencatat, sedikitnya terdapat sepuluh juta hektar lahan di Kalimantan yang merupakan “habitat asli” bagi orangutan telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, memicu mereka beralih ke pemukiman warga. Keberadaan orangutan di pemukiman warga ini dianggap membahayakan, hal ini menimbulkan terjadinya berbagai tindak kekerasan yang dialami orangutan. Sangat memprihatinkan, hewan langka yang dilindungi oleh undang-undang, yang seharusnya  dijaga kelestariannya, kini direbut kemerdekaannya.
 
Ironisnya lagi, dalam mengelola perkebunan kelapa sawit, menggunakan cara-cara atau manajemen yang tidak kalah mengancam bagi kelangsungan hidup hewan. Faktanya 70% kematian gajah disebabkan karena diracun oleh pemilik kebun sawit, gajah-gajah ini dianggap sebagai parasit karena memakan ujung dari pohon sawit, terlebih jika sawit ini sudah memasuki tahap panen. Cara ini dirasa praktis dan ampuh untuk menghindari kerugian.
Tidak hanya itu, akibat tidak adanya manajemen yang serius, praktek konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit seringkali menyebabkan terjadinya bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Hal ini diakibatkan hilangnya pepohonan yang berfungsi untuk menahan laju air. Menurut penelitian, hutan mampu membuat tanah menyerap lebih banyak air 60-80%. Dengan kemampuan ini, keberadaan pohon dapat meningkatkan cadangan air tanah. Selain dapat menahan laju air, akar pohon berfungsi mencegah erosi tanah. Bayangkan jika semua hutan produktif diganti dengan perkebunan kelapa sawit! Tentu saja akan berdampak buruk bagi alam kita. Karena sifat dari kelapa sawit yang rakus unsur hara dan air, menyebabkan terjadinya kekeringan parah pada saat musim kemarau. Tidak hanya itu, pengelolaan perkebunan sawit yang tidak bertanggungjawab menjadi faktor pemicu degradasi lahan dan pencemaran lingkungan.
Melihat fenomena tersebut, tentu saja kita akan berfikir untuk tidak membuka perkebunan kelapa sawit. Namun, ini merupakan anggapan yang keliru, karena kebutuhan produk yang berbahan kelapa sawit semakin meningkat. Sebenarnya fungsi kelapa sawit dalam olahan produk bisa diganti dengan minyak nabati lainnya, seperti kedelai. Namun, jika penggunaan minyak kelapa sawit diganti, tetap saja akan menimbulkan permasalahan yang serupa, bahkan bisa lebih serius. Untuk menghasilkan jumlah minyak yang sama, tanaman kedelai membutuhkan lahan 4-10 kali lebih luas dibanding kelapa sawit. Tentu saja bisa dibayangkan, jumlah hutan yang dikonversi menjadi lahan pertanian untuk menghasilkan minyak nabati akan lebih besar dan kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih parah. Maka dari itu, solusi yang tepat adalah memastikan produk yang kita gunakan mengandung minyak kelapa sawit berkelanjutan.

 
Minyak kelapa sawit berkelanjutan (Sustainable Palm Oil) bisa dilakukan dengan cara pengalihan lahan secara ramah lingkungan. Aktivitas pembukaan lahan tidak dilaksanakan dengan cara membakar, hal ini bertujuan untuk menghindari pencemaran udara yang disebabkan kabut asap yang ditimbulkan dari aktivitas pembakaran hutan. Pembukaan lahan dapat dilakukan dengan manajemen yang baik, dengan menggunakan alat berat seperti Bulldozer. Penggunaan Bulldozer tidak akan mengikis lapisan tanah paling subur, sehingga jauh lebih ramah lingkungan.
Sebagai konsumen yang baik tentu saja kita akan mendukung terciptanya minyak kelapa sawit berkelanjutan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita memastikan bahwa produk yang kita gunakan mengandung minyak sawit berkelanjutan atau tidak? Gampang saja, kita hanya memastikan produk yang kita gunakan berlogo RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). RSPO merupakan organisasi nirlaba yang bertujuan untuk memastikan perkebunan kelapa sawit menggunakan cara-cara yang ramah lingkungan dalam pengelolaannya.
Untuk mendukung tercapainya tujuan Sustainable Palm Oil, dibutuhkan kerjasama dari semua pihak, baik produsen maupun konsumen kelapa sawit. Produsen minyak kelapa sawit diminta untuk berkomitmen dengan mengupayakan sertifikasi operasional mereka sesuai standar RSPO. Sedangkan para konsumen kelapa sawit diminta berkomitmen dengan membeli dan menggunakan kelapa sawit yang sudah disertifikasi.
Jika produk yang kita gunakan berlogo RSPO, sudah dapat dipastikan minyak sawit yang terkandung dalam produk, diproses dengan operasi dan pengelolaan yang sah secara hukum, layak ekonomi, ramah lingkungan dan bermanfaat sosial. Tentunya gaya hidup konsumen yang bijak ini menjadi ujung tombak untuk mengatasi segala permasalahan yang berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit. Semoga setelah kita tahu segala ekses buruk yang ditimbulkan dari pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang tidak bertanggungjawab, kita dapat lebih bijak lagi dalam memilih produk yang akan digunakan. Jangan sampai kita termasuk kedalam golongan pembajak kemerdekaan makhluk lain yang tak berdosa, sekalipun kita tidak menyadarinya.