Materi Inisiasi 1: Ruang Lingkup Ilmu
Antropologi
1.
Pengertian Antropologi
Antropologi adalah
sebuah ilmu yang mempelajari mahluk manusia (anthropos). Secara etimologi,
antropologi berasal dari kata anthropos berarti manusia dan logos berarti ilmu. Antropologi
memandang manusia sebagai sesuatu yang kompleks dari segi fisik, emosi, sosial,
dan kebudayaannya. Antropologi sering pula disebut sebagai ilmu tentang
manusia dan kebudayaannya.
2.
Ruang Lingkup Antropologi
Antropologi dapat dikelompokkan ke dalam cabang ilmu
humaniora karena kajiannya yang terfokus kepada manusia dan kebudayaannya. Dalam
perkembangan selanjutnya, ketika muncul anggapan bahwa antropologi cenderung
memiliki fokus pada masalah sosial dari keberadaan manusia. Namun demikian, di
beberapa tempat, negara, universitas, antropologi sebagai ilmu mempunyai
penekanan-penekanan tertentu sesuai dengan antropologi itu sendiri dan
perkembangan Koentjaraningrat bahwa ruang lingkup dan dasar antropologi belum mencapai
kemantapan dan bentuk umum yang seragam di semua pusat ilmiah di dunia.
Menurutnya, cara terbaik untuk mencapai pengertian akan hal itu adalah dengan
mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi pangkal dari antropologi, dan bagaimana
garis besar proses perkembangan yang mengintegrasikan ilmu-ilmu pangkal tadi,
serta mempelajari bagaimana penerapannya di beberapa negara yang berbeda antara
di satu negara dengan negara lainnya.
3.
Latar Belakang Lahirnya Antropologi
Antropologi
pada masa perkembangan awalnya tidak dapat dipisahkan dengan karya-karya para penulis
yang mencatat gambaran kehidupan penduduk atau sukubangsa di luar Eropa. Deskripsi ini kemudian dikenal dengan sebutan
etnografi. Tulisan Herodotus, seorang bangsa Yunani yang dikenal pula sebagai
Bapak sejarah dan etnografi, mengenai bangsa Mesir merupakan tulisan etnografi
yang paling kuno. Tulisan-tulisan etnografi pada masa awal masih bersifat
subyektif, penuh dengan prasangka dan etnosentrisme. Namun seiring waktu mucul
para ahli etnografi yang menghasilkan tulisan yang lebih obyektif dan ilmiah. Penelitian
secara ilmiah mengenai antropologi berkembang pesat setelah ditemukan atau
setelah diketahui adanya hubungan antara bahasa Sansakerta, Latin, Yunani dan
Germania, sehingga memungkinkan lebih banyak tersedia bahan-bahan etnografi
guna bahan perbandingan, yang kemudian timbul penelitian yang bersifat historis
komparatif mengenai kebudayaan. Selama
abad ke 20, penelitian antropologi dan etnologi makin berkembang, terutama di
pusat-pusat kajian antropologi dan etnologi seperti di Amerika Serikat,
Inggeris, Afrika Selatan, Australia,
Eropa Barat, Eropa Tengah, Eropa Utara, Uni Sovyet dan Meksiko. Bahan-bahan
etnografi tentang Indonesia banyak dikumpulkan oleh para pegawai pemerintah
jajahan.
4.
Fase-fase Perkembangan Antropologi
4.1 Fase pertama (sebelum Abad ke 18)
Pada fase ini bahan-bahan
tulisan yang kemudian menjadi cikal bakal karangan etnografi banyak dihasilkan
oleh para musafir, pelaut, pendeta, para pegawai jajahan, para pegawai agama
atau misionaris yang berasal dari Eropa.
4.2
Fase kedua (sekitar pertengahan Abad ke 19)
Pada
fase ini ditandai oleh keberhasilan para ilmuwan dalam menyusun karya-karya
etnografi yang bahannya dikumpulkan dari berbagai karangan-karangan yang
dihasilkan oleh para penulis pada fase pertama. Dari bahan-bahan tersebut
kemudian disusun berdasarkan pola pikir evolusi sosial, yaitu dari masyarakat
dan kebudayaan sederhana hingga tingkat tinggi. Tokoh antropologi pada fase ini adalah L.H.
Morgan.
4.3
Fase ketiga (awal Abad ke 20)
Pada awal
abad ke 20, antropologi telah berkembang bukan saja sebagai ilmu yang mengkaji
masalah kehidupan bangsa-bangsa
di luar Eropa yang ada kepentingannya dengan kebutuhan negara besar yang
menjadi penjajah tetapi juga dalam rangka memperoleh pengertian tentang masyarakat
modern yang kompleks. Tokoh antropologi pada
masa ketiga ini adalah B. Malinowski dan M. Fortes.
4.4
Fase keempat (sesudah tahun 1930-an)
Pada
masa ini, antropologi telah menerapkan metode ilmiah dalam mengkaji dan
memperoleh bahan-bahan yang diperlukan guna memperoleh pemahaman tentang
kehidupan masyarakat dan kebudayaannya. Pada fase ini, antropologi mempunyai
dua tujuan, yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis. Tokoh penting pada fase keempat ini adalah F.
Boas (1858-1942), A.L. Kroeber, R. Benedict, Margaret Mead dan R. Linton.
4.5 Fase kelima (sesudah tahun 1970-an)
Perkembangan antropologi pada era 1970-an masih
memperlihatkan perkembangan antropologi pada fase 4 di atas yang masih memfokuskan diri pada
tujuan akademis dan tujuan praktisnya, tetapi penekanan terhadap kedua tujuan
tersebut berbeda-beda di setiap negara. Perbedaan tersebut memungkinkan
lahirnya perbedaan aliran dalam antropologi yang dapat diklasifikasikan
berdasarkan asal universitas tempat dikembangkannya antropologi di suatu
negara, seperti Inggeris, Eropa Utara, Eropa Tengah, Amerika Serikat, Rusia,
dan negara-negara berkembang.
5.
Karakteristik Kajian Antropologi
Sejak lama manusia terutama para ahli sosial
dan para filsuf mempertanyakan ”sebenarnya siapa manusia itu, dari mana manusia
itu berasal, dan mengapa berperilaku seperti yang mereka lakukan itu”.
Antropologi sebagai sebuah ilmu sudah sekitar 200 tahun yang lalu telah
berupaya mencari jawaban atas pertayaan di atas. Antropologi kemudian dikenal
sebagai ilmu yang mempelajari mahluk manusia (humankind) di mana pun dan kapan
pun. Perhatian utama dari antropolog adalah merupakan upaya mereka untuk
mempelajari manusia secara hati-hati dan sistematis.
6. Beberapa Cabang Antropologi
Secara umum,
antropologi dibagi menjadi dua cabang yaitu antropologi biologi dan antropologi
budaya. Antropologi biologi adalah cabang antopologi yang memfokuskan kajiannya
pada manusia sebagai orgasme biologis, yang salah satunya menekankan pada
kajian masalah evolusi manusia. Antropologi biologi ini terbagi lagi menjadi
dua yaitu paleoantropologi dan antropologi fisik. Sedangkan antropologi budaya
adalah cabang antropologi umum yang berupaya mempelajari kebudayaan pada
umumnya dan beragam kebudayaan dari berbagai bangsa diseluruh dunia.
Antropologi budaya ini terbagi lagi menjadi beberapa cabang yaitu prasejarah,
etnolinguistik, etnologi dan antropologi sosial, etnopsikologi, antropologi
spesialisasi dan antropologi terapan.
7. Hubungan Antropologi dengan Ilmu Sosial lainnya
7.1 Hubungan
Antropologi dan Sosiologi
Antropologi dan sosiologi pada satu sisi
dimana sebagian para ahli tidak lagi membedakannya secara ketat. Artinya
beberapa fokus kajiannya dianggap sama bahkan beberapa paradigma yang digunakan
untuk melihat suatu fenomena sosial pun dianggap tidak memiliki perbedaan.
Kedua ilmu itu bisa saling menukar atau saling melengkapi baik menyangkut
paradigma ataupun metode yang digunakan dlam mengungkap suatu fenomena sosial.
Di pihak ini, perbedaan antropologi dan sosiologi hanya terjadi pada sejarah
berdirinya masing-masing ilmu tersebut dan metode yang digunakan. Sedangkan sasaran penelitiannya sama-sama
memperhatikan masalah fenomena masyarakat di pedesaan dan perkotaan.
7.2 Hubungan
Antropologi dan Ilmu Politik
Perhatian
ilmu politik terhadap berbagai fenomena budaya masyarakat yang terkait langsung
atau tidak langsung, menjadikan antropologi mempunyai peran dalam kaitannya dengan
kajian ilmu politik, karena mampu mengungkap kebudayaan suatu masyarakat yang
akan menjadi tempat bagi perilaku politik.
7.3 Hubungan
Antropologi dan Ilmu Ekonomi
Perhitungan
ekonomi modern tidak selamanya dapat diterapkan pada sistem ekonomi masyarakat
non Barat. Keragaman budaya pada setiap masyarakat atau suku bangsa
memperlihatkan pula adanya keragaman dalam strategi kehidupan ekonominya. Pada
kondisi sepertu di atas, antropologi sangat diharapkan perannya untuk dapat
menjembatani pemikiran ekonomi modern dan pemikiran ekonomi lokal.
7.4 Hubungan
Antropologi dan Ilmu Administrasi
Pentingnya
antropologi bagi Ilmu Administrasi adalah terkait dengan kebutuhan Ilmu
Administrasi untuk memecahkan persoalan-persoalan administrasi pemerintahan
karena aspek yang bersumber pada latar belakang sosial budaya masyarakat yang
belum menganggap penting masalah administrasi.
7.5 Hubungan
Antropologi dan Arkeologi serta Ilmu Sejarah
Pada
dasarnya arkeologi bertujuan menyingkap sejarah kebudayaan manusia dari mulai
kebudayaan kuno pada jaman purba. Hasil penelitian arkeologi dapat digunakan
oleh antropologi sebagai bahan untuk merekontruksi sejarah asal-mula mahluk
manusia.
(Dirangkum dari BMP ISIP4210 Pengantar
Antropologi, Modul 1)
Materi Inisiasi 2: Teori Antropologi
1. Pemikiran evolusionis dalam antropologi
Dalam rangka agar disiplin ilmu antropologi bisa diakui sebagai salah
satu ilmu pengetahuan, antropologi harus mempunyai teori, konsep dan metode
seperti yang dikembangkan oleh ilmu pengetahuan alam dalam mengkaji masyarakat
manusia. Oleh karena itu, dalam perkembangannya disiplin ilmu antropologi
meminjam teori evolusi yang dikembangkan oleh disiplin ilmu biologi, yaitu dari
pemikiran evolusionis Charles Darwin dan teori seleksi alam dari A.Wallace.
Kedua pemikiran ini, proses evolusi dan seleksi alam, banyak mempengaruhi perkembangan teori dalam disiplin ilmu antropologi. Teori evolusi yang ada dalam disiplin ilmu biologi ini, selain diterapkan untuk menjelaskan evolusi biologi yang terjadi pada manusia, juga untuk mendeskripsikan dan menganalisis proses-proses evolusi sosial-budaya yang terjadi. Demikian halnya dengan teori seleksi alam, yang juga untuk menjelaskan bahwa mereka yang masih survive adalah manusia yang kuat karena berhasil melewati proses seleksi alam yang terjadi.
Perkembangan selanjutnya adalah munculnya teori evolusi sosial-budaya universal, di mana dalam rangka mengkaji kehidupan masyarakat manusia harus dipandang bahwa semua hal tersebut mengalami proses perkembangan yang sangat lambat (berevolusi) dari tingkat yang rendah dan sederhana menuju ke tingkat yang makin lama makin tinggi dan kompleks. Proses evolusi seperti itu akan dialami oleh semua masyarakat manusia di manapun di muka bumi ini.
Kedua pemikiran ini, proses evolusi dan seleksi alam, banyak mempengaruhi perkembangan teori dalam disiplin ilmu antropologi. Teori evolusi yang ada dalam disiplin ilmu biologi ini, selain diterapkan untuk menjelaskan evolusi biologi yang terjadi pada manusia, juga untuk mendeskripsikan dan menganalisis proses-proses evolusi sosial-budaya yang terjadi. Demikian halnya dengan teori seleksi alam, yang juga untuk menjelaskan bahwa mereka yang masih survive adalah manusia yang kuat karena berhasil melewati proses seleksi alam yang terjadi.
Perkembangan selanjutnya adalah munculnya teori evolusi sosial-budaya universal, di mana dalam rangka mengkaji kehidupan masyarakat manusia harus dipandang bahwa semua hal tersebut mengalami proses perkembangan yang sangat lambat (berevolusi) dari tingkat yang rendah dan sederhana menuju ke tingkat yang makin lama makin tinggi dan kompleks. Proses evolusi seperti itu akan dialami oleh semua masyarakat manusia di manapun di muka bumi ini.
2. Evolusi Biologi
Proses evolusi menurut disiplin ilmu biologi, terjadi melalui mutasi sehingga menghasilkan variasi keturunan. Hal ini terjadi karena masuknya gen baru dari populasi lain dan akibat dari pengaruh faktor seleksi alam. Seiring berjalannya waktu, dari generasi ke generasi berikutnya, dalam populasi manusia nampak adanya derajat atau kemampuan adaptasi. Berdasarkan konsep adaptasi ini, konsep perubahan menjadi penting dalam teori evolusi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa evolusi adalah sebuah proses dimana satu species atau suatu populasi organisme individu mengalami perubahan-perubahan struktural dalam waktu yang panjang karena atau sebagai hasil dari proses interaksi dengan lingkungannya.
Proses evolusi menurut disiplin ilmu biologi, terjadi melalui mutasi sehingga menghasilkan variasi keturunan. Hal ini terjadi karena masuknya gen baru dari populasi lain dan akibat dari pengaruh faktor seleksi alam. Seiring berjalannya waktu, dari generasi ke generasi berikutnya, dalam populasi manusia nampak adanya derajat atau kemampuan adaptasi. Berdasarkan konsep adaptasi ini, konsep perubahan menjadi penting dalam teori evolusi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa evolusi adalah sebuah proses dimana satu species atau suatu populasi organisme individu mengalami perubahan-perubahan struktural dalam waktu yang panjang karena atau sebagai hasil dari proses interaksi dengan lingkungannya.
3. Evolusi Manusia
Pemikiran evolusionis banyak dikembangkan dalam antropologi fisik (salah satu cabang atau spesialisasi dari antropologi). Melalui penemuan fosil dan peralatan para ahli antropologi fisik berupaya untuk merekonstruksi proses evolusi manusia.
4. Evolusi Sosial - Budaya
Ide atau pemikiran evolusionisme juga digunakan untuk menjelaskan proses perkembangan atau kemajuan sejarah dari sistem sosial-budaya yang paling sederhana sampai ke sistem sosial-budaya yang lebih kompleks. Salah satu tokoh atau ahli yang menerapkan teori evolusionisme tersebut adalah Herbert Spencer. Dalam hal ini, Spencer memandang bahwa kebudayaan merupakan superorganis.
Pendekatan yang dikembangkan oleh Spencer disebut sebagai “Darwinisme Sosial”. Proposisi pertama Spencer adalah bahwa masyarakat, seperti halnya organisme, merupakan keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang terintegrasi secara fungsional dan mengalami pertumbuhan, kemunduran, diferensiasi dan integrasi.
5. Evolusi Multi-Linear
Ketika dihadapkan dengan bahan-bahan etnografi yang ada, pada kasus-kasus tertentu ternyata pemikiran evolusionis unililear tidak berlaku universal. Kesulitan-kesulitan tersebut di atas inilah yang mendorong munculnya pemikiran evolusionis multilinear. Julian H. Steward adalah tokoh yang dikenal sebagai pendiri evolusionis multilinear.
Steward memperhatikan garis-garis spesifik perkembangan dalam masyarakat atau kelompok masyarakat yang secara spesifik memiliki bersama apa yang sebutnya sebagai inti kebudayaan. Inti kebudayaan yang dimaksud adalah konstelasi ciri-ciri yang meliputi pola-pola sosial, politik dan agama yang saling terkait satu sama lain secara erat– yang paling terikat dengan kegiatan subsistensi dan tatanan ekonomi. Atas dasar inilah Steward berpendapat bahwa bagi kebudayaan yang memiliki inti kebudayaan yang kurang lebih sama akan berevolusi mengikuti suatu rangkaian evolusi yang sama, meski berbeda dalam detail spesifiknya.
6. Difusi
Difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain. Para pemikir difusionis berusaha menjelaskan bahwa gejala-gejala persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat di dunia tersebut disebabkan karena adanya persebaran dari unsur-unsur itu ke berbagai tempat. Para ahli yang bisa dikategorikan sebagai difusionis antara lain seperti F.Graebner, W. Schmidt, WHR Rivers dan F. Boas.
7. Neo-Darwinisme dan
Neo-Evolusi
Neo-darwinisme adalah sebuah pemikiran sosio-biologi yang memandang
bahwa masyarakat dan kebudayaan manusia adalah perpanjangan dari makhluk hewan
yang berwujud manusia-yang berevolusi. Namun banyak hal yang tidak bisa
terjawab dari pemikiran ini sehingga banyak ditentang oleh ahli-ahli
antropologi. Sementara itu banyak ahli antropologi yang terjebak dalam
pemikiran bahwa evolusi itu disamakan dengan kemajuan dimana yang sederhana
menjadi yang kompleks. Padahal ada beberapa sistem sosial yang mengalami
kemunduran. Karenaya harus dipahami bahwa evolusi sosial berbeda dengan evolusi
biologi karena evolusi sosial meliputi upaya disengaja, revolusi, tuntutan
kepentingan dan pilihan-pilihan. Evolusi sosial terjadi melalui proses belajar
sedangan evolusi biologi adalah genetik dan terjadi tanpa disadari.
8. Fungsionalisme
Teori fungsionalisme dalam antropologi mulai dikembangkan oleh
Bronislaw Malinowski dimana Ia menyimpulkan bahwa setiap unsur kebudayaan
mempunyai fungsi sosial terhadap unsur-unsur kebudayan lainnya. Dengan
demikian, kebudayaan mempunyai fungsi sosial yaitu sebagai alat untuk pemenuhan
kebutuhan manusia sebagai pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Dengan kata
lain bahwa kebudayan berfungsi untuk memenuhi segala kebutuhan manusia sebagai
pendukung kebudayaan yang bersangkutan.
9. Struktural-Fungsionalisme
Pemikiran struktural-fungsionalisme memandang masyarakat sebagai suatu sistem dari struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Dalam hal ini, struktur yang dimaksud adalah pola-pola nyata dari hubungan antarkomponen yang ada dalam masyarakat, yang relatif bertahan lama. Jadi, masyarakat secara keseluruhan bisa dipandang sebagai sebuah struktur besar yang menaungi berbagai struktur-struktur yang lebih kecil yang ada dalam masyarakat tersebut, di mana struktur yang satu saling berhubungan dengan struktur yang lainnya.
Pemikiran struktural-fungsional memandang individu selalu menempati suatu status sosial dalam berbagai struktur sosial yang ada dalam masyarakatnya (individu umumnya memiliki lebih dari satu status sosial). Individu yang menempati suatu status sosial tertentu memiliki hak-hak dan kewajiban yang tertentu pula sesuai dengan status sosial yang disandangnya. Hak-hak dan kewajiban yang melekat pada status sosial inilah yang menentukan peran seseorang di dalam masyarakatnya.
Pemikiran struktural-fungsionalisme memandang masyarakat sebagai suatu sistem dari struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Dalam hal ini, struktur yang dimaksud adalah pola-pola nyata dari hubungan antarkomponen yang ada dalam masyarakat, yang relatif bertahan lama. Jadi, masyarakat secara keseluruhan bisa dipandang sebagai sebuah struktur besar yang menaungi berbagai struktur-struktur yang lebih kecil yang ada dalam masyarakat tersebut, di mana struktur yang satu saling berhubungan dengan struktur yang lainnya.
Pemikiran struktural-fungsional memandang individu selalu menempati suatu status sosial dalam berbagai struktur sosial yang ada dalam masyarakatnya (individu umumnya memiliki lebih dari satu status sosial). Individu yang menempati suatu status sosial tertentu memiliki hak-hak dan kewajiban yang tertentu pula sesuai dengan status sosial yang disandangnya. Hak-hak dan kewajiban yang melekat pada status sosial inilah yang menentukan peran seseorang di dalam masyarakatnya.
10. Perkembangan Strukturalisme
Pemikiran strukturalis fungsionalisme yang dikembangkan oleh Radclife Brown dan pemikiran fungsionalisme oleh Bronislaw Malinowski selanjutnya berkembang sebagaimana pemikiran strukturalisme yang dilontarkan oleh Claude Levi Strauss. Levi-Strauss berpendapat bahwa struktur itu keberadaannya ada di dalam pikiran/akal manusia, dan interaksi sosial dilihatnya sebagai manifestasi/perwujudan dari struktur kognitif manusia.
Pemikiran strukturalis fungsionalisme yang dikembangkan oleh Radclife Brown dan pemikiran fungsionalisme oleh Bronislaw Malinowski selanjutnya berkembang sebagaimana pemikiran strukturalisme yang dilontarkan oleh Claude Levi Strauss. Levi-Strauss berpendapat bahwa struktur itu keberadaannya ada di dalam pikiran/akal manusia, dan interaksi sosial dilihatnya sebagai manifestasi/perwujudan dari struktur kognitif manusia.
Analisis struktural fungsional konvensional, secara definitif memandang
masyarakat pada dasarnya adalah statis sehingga dapat dikatakan bahwa analisis
struktural fungsional memang dimaksudkan sebagai insturmen memadai bagi
studi-studi masyarakat sederhana dan bukan untuk masyarakat yang kompleks.
Berdasarkan kendala-kendala ini maka para ahli antropologi membutuhkan
model-model baru dalam memahami masyarakat yang kompleks. Salah satu konsep
yang ditawarkan adalah analisa jaringan sosial. Mitchell mengusulkan bahwa
image jaringan seharusnya ditanamkan ke dalam benak para ahli antropologi
sewaktu akan mempelajari kehidupan masyarakat kompleks. Begitu pula Bott dan
Barnes juga menunjukkan bahwa jaringan-jaringan sosial dapat digunakan
untuk menginterpretasi perilaku di dalam berbagai variasi situasi sosial yang
luas, dan tidak terbatas hanya pada studi peran-peran conjugal.
Bila ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk
jaringan-jaringan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi 3
jenis jaringan sosial, yaitu:
1. jaringan interest (jaringan kepentingan), di mana hubungan-hubungan sosial yang membentuknya adalah hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kepentingan
2. jaringan sentiment (jaringan emosi), yang terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial yang bermuatan emosi
3. jaringan power, di mana hubungan-hubungan sosial yang membentuknya adalah hubungan-hubungan sosial yang bermuatan power.
(Dirangkum dari BMP ISIP4210 Pengantar Antropologi, Modul 2 dan 3)
1. jaringan interest (jaringan kepentingan), di mana hubungan-hubungan sosial yang membentuknya adalah hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kepentingan
2. jaringan sentiment (jaringan emosi), yang terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial yang bermuatan emosi
3. jaringan power, di mana hubungan-hubungan sosial yang membentuknya adalah hubungan-hubungan sosial yang bermuatan power.
(Dirangkum dari BMP ISIP4210 Pengantar Antropologi, Modul 2 dan 3)
Materi
Iniasi 3: Etnografi
1.
Etnografi
dan Fieldwork
Untuk bisa mencapai kajian antropologi yang bersifat komparatif,
holistik, dan global maka kajian antropologi harus menggunakan metode
penelitian yang sifatnya dapat menggambarkan secara mendalam (depth
description) subyek (kelompok masyarakat) yang menjadi kajiannya. Metode
penelitian tersebut adalah etnografi. Dilihat dari asal katanya, etnografi
berasal dari bahasa yunani kuno ethnos yang berarti bangsa dan graphy yang
berarti deskripsi atau pelukisan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya
etnografi mempunyai pengertian pelukisan mengenai bangsa-bangsa.
Menurut Koentjaraningrat (1986: 4.2) kegiatan etnografi ini sudah lama dilakukan, dalam bentuk catatan-catatan perjalanan para pelaut dagang bangsa Eropa Barat, tulisan para pendeta penyebar agama Kristen dan Katolik, para pegawai pemerintah jajahan atau para ahli eksplorasi yang membuka daerah-daerah baru, tentang cara-cara hidup dan kebudayaan bangsa-bangsa di luar bangsa Eropa. Catatan-catatan ini yang tersimpan dalam perpustakaan universitas di Eropa selanjutnya menarik perhatian para ilmuwan untuk mengolahnya. Maka muncul ilmu bangsa-bangsa atau etnologi yang juga disebut antropologi. Pada perkembangan berikutnya para antropolog tidak lagi hanya bekerja di belakang meja mengolah hasil-hasil catatan lapangan yang ada, tetapi juga harus pergi ke lapangan untuk mengumpulkan data. Sehubungan dengan hal ini maka etnografi diartikan juga sebagai tipe penelitian di mana data utama diambil dari tangan pertama dan pada setting yang sifatnya local.
Menurut Koentjaraningrat, wilayah dari kebudayaan atau subkebudayaan yang dikaji melalui etnografi meliputi (1) lokasi, lingkungan alam, dan demografi; (2) asal mula dan sejarah suku bangsa; (3) bahasa; (4) sistem teknologi; (5) sistem ekonomi; (6) organisasi sosial; (7) sistem pengetahuan; (8) sistem religi; (9) kesenian, dan (10) perubahan kebudayaan. Namun demikian, menurut Beatric peneliti cukup mengambil satu tema khusus saja.
Mekanisme yang digunakan dalam penelitian etnografi adalah dengan cara peneliti tinggal bersama dengan subyek (kelompok masyarakat) yang dikajinya. Yang harus dimengerti benar adalah, walaupun peneliti etnografi berada pada posisi sebagai orang yang sedang melakukan penelitian, tetapi dia sebenarnya bukan berada pada posisi orang yang sedang mengkaji orang (studying people) melainkan orang yang sedang belajar dari orang lain (learning from people).
Penelitian etnografi sangat mensyaratkan perlunya penelitian lapangan (fieldwork) dengan peneliti sebagai instrument utamanya. Di sini seorang peneliti akan menguji hipotesanya walaupun hipotesa ini bersifat tentatif, artinya dapat berubah. Dalam melakukan fieldwork ini peneliti memulainya dengan survey untuk mempelajari elemen-elemen dasar dari subyek penelitiannya. Di sinilah rapport telah terbentuk. Spradley (1972: 51) mengartikan rapport sebagai hubungan yang harmonis antara dua orang. Elemen penting dari fieldwork adalah mengamati, bertanya (mewawancarai), dan menuliskan apa yang dilihat dan didengar. Selanjutnya kapan peneliti etnografi dapat menyudahi penelitiannya adalah ketika dia merasa data yang harus dikumpulkannya sudah cukup, yaitu ketika gambaran umum dari kajiannya muncul terus menerus.
Menurut Koentjaraningrat (1986: 4.2) kegiatan etnografi ini sudah lama dilakukan, dalam bentuk catatan-catatan perjalanan para pelaut dagang bangsa Eropa Barat, tulisan para pendeta penyebar agama Kristen dan Katolik, para pegawai pemerintah jajahan atau para ahli eksplorasi yang membuka daerah-daerah baru, tentang cara-cara hidup dan kebudayaan bangsa-bangsa di luar bangsa Eropa. Catatan-catatan ini yang tersimpan dalam perpustakaan universitas di Eropa selanjutnya menarik perhatian para ilmuwan untuk mengolahnya. Maka muncul ilmu bangsa-bangsa atau etnologi yang juga disebut antropologi. Pada perkembangan berikutnya para antropolog tidak lagi hanya bekerja di belakang meja mengolah hasil-hasil catatan lapangan yang ada, tetapi juga harus pergi ke lapangan untuk mengumpulkan data. Sehubungan dengan hal ini maka etnografi diartikan juga sebagai tipe penelitian di mana data utama diambil dari tangan pertama dan pada setting yang sifatnya local.
Menurut Koentjaraningrat, wilayah dari kebudayaan atau subkebudayaan yang dikaji melalui etnografi meliputi (1) lokasi, lingkungan alam, dan demografi; (2) asal mula dan sejarah suku bangsa; (3) bahasa; (4) sistem teknologi; (5) sistem ekonomi; (6) organisasi sosial; (7) sistem pengetahuan; (8) sistem religi; (9) kesenian, dan (10) perubahan kebudayaan. Namun demikian, menurut Beatric peneliti cukup mengambil satu tema khusus saja.
Mekanisme yang digunakan dalam penelitian etnografi adalah dengan cara peneliti tinggal bersama dengan subyek (kelompok masyarakat) yang dikajinya. Yang harus dimengerti benar adalah, walaupun peneliti etnografi berada pada posisi sebagai orang yang sedang melakukan penelitian, tetapi dia sebenarnya bukan berada pada posisi orang yang sedang mengkaji orang (studying people) melainkan orang yang sedang belajar dari orang lain (learning from people).
Penelitian etnografi sangat mensyaratkan perlunya penelitian lapangan (fieldwork) dengan peneliti sebagai instrument utamanya. Di sini seorang peneliti akan menguji hipotesanya walaupun hipotesa ini bersifat tentatif, artinya dapat berubah. Dalam melakukan fieldwork ini peneliti memulainya dengan survey untuk mempelajari elemen-elemen dasar dari subyek penelitiannya. Di sinilah rapport telah terbentuk. Spradley (1972: 51) mengartikan rapport sebagai hubungan yang harmonis antara dua orang. Elemen penting dari fieldwork adalah mengamati, bertanya (mewawancarai), dan menuliskan apa yang dilihat dan didengar. Selanjutnya kapan peneliti etnografi dapat menyudahi penelitiannya adalah ketika dia merasa data yang harus dikumpulkannya sudah cukup, yaitu ketika gambaran umum dari kajiannya muncul terus menerus.
2.
Konsep
dan Teknik Etnografi
Dalam melakukan penelitiannya, peneliti etnografi harus berpegangan
pada sejumlah konsep penting yang digunakan sebagai pedoman dan pegangan
seorang peneliti etnografi melakukan penelitian lapangan. Konsep-konsep yang
dimaksud adalah (1) Kebudayaan, (2) Perspektif Holistik, (3) Kontekstualisasi,
(4) Perspektif Emik, (5) Perspektif Etik, (6) Nonjudgmental Orientation, (7)
Perbedaan Inter dan Intrabudaya, (8) Struktur dan Fungsi, (9) Simbol dan
Ritual, (10) Kajian Makro dan Mikro, (11) Operationalisme.
Teknik-teknik penelitian yang dipakai dalam penelitian etnografi adalah pengamatan, percakapan dan wawancara, metode genealogi, metode life histori, serta Free-Ranging, Holistic Investigation.
Teknik-teknik penelitian yang dipakai dalam penelitian etnografi adalah pengamatan, percakapan dan wawancara, metode genealogi, metode life histori, serta Free-Ranging, Holistic Investigation.
3.
Evolusi
Etnografi dan Teknik Penelitian Pada Masyarakat Kompleks
Penelitian etnografi ternyata telah mengalami perkembangan yang sangat
pesat sehubungan dengan tuntutan dari lapangan penelitiannya. Dengan demikian
terjadilah evolusi dalam penelitian etnografi ini. Penelitian etnografi mulai
juga digunakan untuk meneliti masyarakat kompleks atau perkotaan. Oleh karena
banyaknya kelompok kebudayaan yang ada pada masyarakat kompleks, maka peneliti
yang meneliti masyarakat kompleks akan memulai penelitiannya dari satu atau
lebih cultural scene. Culture scene sendiri diartikan sebagai informasi yang
dibagikan oleh dua orang atau lebih yang mendefiniskan beberapa aspek dari
pengalaman mereka.
Penelitian etnografi klasik dirasakan tidak mudah untuk pada masyarakat
yang sifatnya kompleks. Oleh karena itu kajian antropologi mulai menggunakan
campuran antara metode etnografi dengan elemen-elemen dari survei.
4.
Analisa
Jaringan Sosial
Analisa jaringan sosial adalah pendekatan dan teknik yang secara alami
dikembangkan untuk mengkaji komunitas kecil. Akan tetapi pendekatan ini
sekarang digunakan untuk mengkaji masyarakat kota. Analisis jaringan sosial
dimulai dengan cara mengambil fokus pada orang tertentu (alpha) yang merupakan
anggota komunitas, lingkungan ketetanggaan, atau organisasi. Setelah itu
selanjutnya diikuti dengan penelitian yang lebih luas tentang pertalian antara
orang-orang tersebut dengan orang-orang yang lainnya (alter). Analisis jaringan
sosial digunakan untuk mendeskripsikan pola-pola hubungan antara satu orang
atau satu pihak dengan orang atau pihak lainnya.
Ada dua tipe jaringan sosial, yaitu jaringan padat-ketat/close-knit
network dan jarang-longgar/loose-knit network (Kottaks, 1991 : 29).
(Dirangkum dari BMP ISIP4210 Pengantar Antropologi, Modul 4)
(Dirangkum dari BMP ISIP4210 Pengantar Antropologi, Modul 4)
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak