Sunday, March 4, 2018

Materi Inisiasi 1: Ruang Lingkup Ilmu Antropologi




Materi Inisiasi 1: Ruang Lingkup Ilmu Antropologi

1.       Pengertian Antropologi
Antropologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari mahluk manusia (anthropos). Secara etimologi, antropologi berasal dari kata anthropos berarti manusia dan logos berarti ilmu. Antropologi memandang manusia sebagai sesuatu yang kompleks dari segi fisik, emosi, sosial, dan kebudayaannya. Antropologi sering pula disebut sebagai ilmu tentang manusia dan kebudayaannya.

2.       Ruang Lingkup Antropologi
Antropologi dapat dikelompokkan ke dalam cabang ilmu humaniora karena kajiannya yang terfokus kepada manusia dan kebudayaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika muncul anggapan bahwa antropologi cenderung memiliki fokus pada masalah sosial dari keberadaan manusia. Namun demikian, di beberapa tempat, negara, universitas, antropologi sebagai ilmu mempunyai penekanan-penekanan tertentu sesuai dengan antropologi itu sendiri dan perkembangan Koentjaraningrat bahwa ruang lingkup dan dasar antropologi belum mencapai kemantapan dan bentuk umum yang seragam di semua pusat ilmiah di dunia. Menurutnya, cara terbaik untuk mencapai pengertian akan hal itu adalah dengan mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi pangkal dari antropologi, dan bagaimana garis besar proses perkembangan yang mengintegrasikan ilmu-ilmu pangkal tadi, serta mempelajari bagaimana penerapannya di beberapa negara yang berbeda antara di satu negara dengan negara lainnya.

3.       Latar Belakang Lahirnya Antropologi
Antropologi pada masa perkembangan awalnya tidak dapat dipisahkan dengan karya-karya para penulis yang mencatat gambaran kehidupan penduduk atau sukubangsa di luar Eropa.  Deskripsi ini kemudian dikenal dengan sebutan etnografi. Tulisan Herodotus, seorang bangsa Yunani yang dikenal pula sebagai Bapak sejarah dan etnografi, mengenai bangsa Mesir merupakan tulisan etnografi yang paling kuno. Tulisan-tulisan etnografi pada masa awal masih bersifat subyektif, penuh dengan prasangka dan etnosentrisme. Namun seiring waktu mucul para ahli etnografi yang menghasilkan tulisan yang lebih obyektif dan ilmiah. Penelitian secara ilmiah mengenai antropologi berkembang pesat setelah ditemukan atau setelah diketahui adanya hubungan antara bahasa Sansakerta, Latin, Yunani dan Germania, sehingga memungkinkan lebih banyak tersedia bahan-bahan etnografi guna bahan perbandingan, yang kemudian timbul penelitian yang bersifat historis komparatif mengenai kebudayaan. Selama abad ke 20, penelitian antropologi dan etnologi makin berkembang, terutama di pusat-pusat kajian antropologi dan etnologi seperti di Amerika Serikat, Inggeris, Afrika Selatan,  Australia, Eropa Barat, Eropa Tengah, Eropa Utara, Uni Sovyet dan Meksiko. Bahan-bahan etnografi tentang Indonesia banyak dikumpulkan oleh para pegawai pemerintah jajahan. 

4.       Fase-fase Perkembangan Antropologi

4.1  Fase pertama (sebelum Abad ke 18)
Pada fase ini bahan-bahan tulisan yang kemudian menjadi cikal bakal karangan etnografi banyak dihasilkan oleh para musafir, pelaut, pendeta, para pegawai jajahan, para pegawai agama atau misionaris yang berasal dari Eropa.

4.2  Fase kedua (sekitar pertengahan Abad ke 19)
Pada fase ini ditandai oleh keberhasilan para ilmuwan dalam menyusun karya-karya etnografi yang bahannya dikumpulkan dari berbagai karangan-karangan yang dihasilkan oleh para penulis pada fase pertama. Dari bahan-bahan tersebut kemudian disusun berdasarkan pola pikir evolusi sosial, yaitu dari masyarakat dan kebudayaan sederhana hingga tingkat tinggi.  Tokoh antropologi pada fase ini adalah L.H. Morgan.
  
4.3   Fase ketiga (awal Abad ke 20)
Pada awal abad ke 20, antropologi telah berkembang bukan saja sebagai ilmu yang mengkaji masalah kehidupan bangsa-bangsa di luar Eropa yang ada kepentingannya dengan kebutuhan negara besar yang menjadi penjajah tetapi juga dalam rangka memperoleh pengertian tentang masyarakat modern yang kompleks. Tokoh antropologi pada masa ketiga ini adalah B. Malinowski dan M. Fortes. 

4.4 Fase keempat (sesudah tahun 1930-an)
Pada  masa ini, antropologi telah menerapkan metode ilmiah dalam mengkaji dan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan guna memperoleh pemahaman tentang kehidupan masyarakat dan kebudayaannya. Pada fase ini, antropologi mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis.  Tokoh penting pada fase keempat ini adalah F. Boas (1858-1942), A.L. Kroeber, R. Benedict, Margaret Mead dan R. Linton.

4.5 Fase kelima (sesudah tahun 1970-an)
Perkembangan antropologi pada era 1970-an masih memperlihatkan perkembangan antropologi pada fase 4  di atas yang masih memfokuskan diri pada tujuan akademis dan tujuan praktisnya, tetapi penekanan terhadap kedua tujuan tersebut berbeda-beda di setiap negara. Perbedaan tersebut memungkinkan lahirnya perbedaan aliran dalam antropologi yang dapat diklasifikasikan berdasarkan asal universitas tempat dikembangkannya antropologi di suatu negara, seperti Inggeris, Eropa Utara, Eropa Tengah, Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara berkembang.

5.       Karakteristik Kajian Antropologi
Sejak lama manusia terutama para ahli sosial dan para filsuf mempertanyakan ”sebenarnya siapa manusia itu, dari mana manusia itu berasal, dan mengapa berperilaku seperti yang mereka lakukan itu”. Antropologi sebagai sebuah ilmu sudah sekitar 200 tahun yang lalu telah berupaya mencari jawaban atas pertayaan di atas. Antropologi kemudian dikenal sebagai ilmu yang mempelajari mahluk manusia (humankind) di mana pun dan kapan pun. Perhatian utama dari antropolog adalah merupakan upaya mereka untuk mempelajari manusia secara hati-hati dan sistematis.

6.       Beberapa Cabang Antropologi
Secara umum, antropologi dibagi menjadi dua cabang yaitu antropologi biologi dan antropologi budaya. Antropologi biologi adalah cabang antopologi yang memfokuskan kajiannya pada manusia sebagai orgasme biologis, yang salah satunya menekankan pada kajian masalah evolusi manusia. Antropologi biologi ini terbagi lagi menjadi dua yaitu paleoantropologi dan antropologi fisik. Sedangkan antropologi budaya adalah cabang antropologi umum yang berupaya mempelajari kebudayaan pada umumnya dan beragam kebudayaan dari berbagai bangsa diseluruh dunia. Antropologi budaya ini terbagi lagi menjadi beberapa cabang yaitu prasejarah, etnolinguistik, etnologi dan antropologi sosial, etnopsikologi, antropologi spesialisasi dan antropologi terapan.





7.       Hubungan Antropologi dengan Ilmu Sosial lainnya

7.1   Hubungan Antropologi dan Sosiologi
Antropologi dan sosiologi pada satu sisi dimana sebagian para ahli tidak lagi membedakannya secara ketat. Artinya beberapa fokus kajiannya dianggap sama bahkan beberapa paradigma yang digunakan untuk melihat suatu fenomena sosial pun dianggap tidak memiliki perbedaan. Kedua ilmu itu bisa saling menukar atau saling melengkapi baik menyangkut paradigma ataupun metode yang digunakan dlam mengungkap suatu fenomena sosial. Di pihak ini, perbedaan antropologi dan sosiologi hanya terjadi pada sejarah berdirinya masing-masing ilmu tersebut dan metode yang digunakan. Sedangkan sasaran penelitiannya sama-sama memperhatikan masalah fenomena masyarakat di pedesaan dan perkotaan.

7.2   Hubungan Antropologi dan Ilmu Politik
Perhatian ilmu politik terhadap berbagai fenomena budaya masyarakat yang terkait langsung atau tidak langsung, menjadikan antropologi mempunyai peran dalam kaitannya dengan kajian ilmu politik, karena mampu mengungkap kebudayaan suatu masyarakat yang akan menjadi tempat bagi perilaku politik.


7.3   Hubungan Antropologi dan Ilmu Ekonomi
Perhitungan ekonomi modern tidak selamanya dapat diterapkan pada sistem ekonomi masyarakat non Barat. Keragaman budaya pada setiap masyarakat atau suku bangsa memperlihatkan pula adanya keragaman dalam strategi kehidupan ekonominya. Pada kondisi sepertu di atas, antropologi sangat diharapkan perannya untuk dapat menjembatani pemikiran ekonomi modern dan pemikiran ekonomi lokal.

7.4   Hubungan Antropologi dan Ilmu Administrasi
Pentingnya antropologi bagi Ilmu Administrasi adalah terkait dengan kebutuhan Ilmu Administrasi untuk memecahkan persoalan-persoalan administrasi pemerintahan karena aspek yang bersumber pada latar belakang sosial budaya masyarakat yang belum menganggap penting masalah administrasi.


7.5   Hubungan Antropologi dan Arkeologi serta Ilmu Sejarah
Pada dasarnya arkeologi bertujuan menyingkap sejarah kebudayaan manusia dari mulai kebudayaan kuno pada jaman purba. Hasil penelitian arkeologi dapat digunakan oleh antropologi sebagai bahan untuk merekontruksi sejarah asal-mula mahluk manusia. 

(Dirangkum dari BMP ISIP4210 Pengantar Antropologi, Modul 1)









Materi Inisiasi 2: Teori Antropologi

1. Pemikiran evolusionis dalam antropologi
Dalam rangka agar disiplin ilmu antropologi bisa diakui sebagai salah satu ilmu pengetahuan, antropologi harus mempunyai teori, konsep dan metode seperti yang dikembangkan oleh ilmu pengetahuan alam dalam mengkaji masyarakat manusia. Oleh karena itu, dalam perkembangannya disiplin ilmu antropologi meminjam teori evolusi yang dikembangkan oleh disiplin ilmu biologi, yaitu dari pemikiran evolusionis Charles Darwin dan teori seleksi alam dari A.Wallace.
Kedua pemikiran ini, proses evolusi dan seleksi alam, banyak mempengaruhi perkembangan teori dalam disiplin ilmu antropologi. Teori evolusi yang ada dalam disiplin ilmu biologi ini, selain diterapkan untuk menjelaskan evolusi biologi yang terjadi pada manusia, juga untuk mendeskripsikan dan menganalisis proses-proses evolusi sosial-budaya yang terjadi. Demikian halnya dengan teori seleksi alam, yang juga untuk menjelaskan bahwa mereka yang masih survive adalah manusia yang kuat karena berhasil melewati proses seleksi alam yang terjadi.
Perkembangan selanjutnya adalah munculnya teori evolusi sosial-budaya universal, di mana dalam rangka mengkaji kehidupan masyarakat manusia harus dipandang bahwa semua hal tersebut mengalami proses perkembangan yang sangat lambat (berevolusi) dari tingkat yang rendah dan sederhana menuju ke tingkat yang makin lama makin tinggi dan kompleks. Proses evolusi seperti itu akan dialami oleh semua masyarakat manusia di manapun di muka bumi ini.

2. Evolusi Biologi
Proses evolusi menurut disiplin ilmu biologi, terjadi melalui mutasi sehingga menghasilkan variasi keturunan. Hal ini terjadi karena masuknya gen baru dari populasi lain dan akibat dari pengaruh faktor seleksi alam. Seiring berjalannya waktu, dari generasi ke generasi berikutnya, dalam populasi manusia nampak adanya derajat atau kemampuan  adaptasi. Berdasarkan konsep adaptasi ini, konsep perubahan menjadi penting dalam teori evolusi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa evolusi adalah sebuah proses dimana satu species atau suatu populasi organisme individu mengalami perubahan-perubahan struktural dalam waktu yang panjang karena atau sebagai hasil dari proses interaksi dengan lingkungannya.

3. Evolusi Manusia
Pemikiran evolusionis banyak dikembangkan dalam antropologi fisik (salah satu cabang atau spesialisasi dari antropologi). Melalui penemuan fosil dan peralatan para ahli antropologi fisik berupaya untuk merekonstruksi proses evolusi manusia.

4. Evolusi Sosial - Budaya
Ide atau pemikiran evolusionisme juga digunakan untuk menjelaskan proses perkembangan atau kemajuan sejarah dari sistem sosial-budaya yang paling sederhana sampai ke sistem sosial-budaya yang lebih kompleks. Salah satu tokoh atau ahli yang menerapkan teori evolusionisme tersebut adalah Herbert Spencer. Dalam hal ini, Spencer memandang bahwa kebudayaan merupakan superorganis.
Pendekatan yang dikembangkan oleh Spencer disebut sebagai “Darwinisme Sosial”. Proposisi pertama Spencer adalah bahwa masyarakat, seperti halnya organisme, merupakan keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang terintegrasi secara fungsional dan mengalami pertumbuhan, kemunduran, diferensiasi dan integrasi.

5. Evolusi Multi-Linear
Ketika dihadapkan dengan bahan-bahan etnografi yang ada, pada kasus-kasus tertentu ternyata pemikiran evolusionis unililear tidak berlaku universal. Kesulitan-kesulitan tersebut di atas inilah yang mendorong munculnya pemikiran evolusionis multilinear. Julian H. Steward adalah tokoh yang dikenal sebagai pendiri evolusionis multilinear.
Steward memperhatikan garis-garis spesifik perkembangan dalam masyarakat atau kelompok masyarakat yang secara spesifik memiliki bersama apa yang sebutnya sebagai inti kebudayaan. Inti kebudayaan yang dimaksud adalah konstelasi ciri-ciri yang meliputi pola-pola sosial, politik dan agama yang saling terkait satu sama lain secara erat– yang paling terikat dengan kegiatan subsistensi dan tatanan ekonomi. Atas dasar inilah Steward berpendapat bahwa bagi kebudayaan yang memiliki inti kebudayaan yang kurang lebih sama akan berevolusi mengikuti suatu rangkaian evolusi yang sama, meski berbeda dalam detail spesifiknya.

6. Difusi
Difusi adalah  proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain. Para pemikir difusionis berusaha menjelaskan bahwa gejala-gejala persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat di dunia tersebut disebabkan karena adanya persebaran dari unsur-unsur itu ke berbagai tempat. Para ahli yang bisa dikategorikan sebagai difusionis antara lain seperti F.Graebner, W. Schmidt, WHR Rivers dan F. Boas.

7. Neo-Darwinisme dan Neo-Evolusi
Neo-darwinisme adalah sebuah pemikiran sosio-biologi yang memandang bahwa masyarakat dan kebudayaan manusia adalah perpanjangan dari makhluk hewan yang berwujud manusia-yang berevolusi. Namun banyak hal yang tidak bisa terjawab dari pemikiran ini sehingga banyak ditentang oleh ahli-ahli antropologi. Sementara itu banyak ahli antropologi yang terjebak dalam pemikiran bahwa evolusi itu disamakan dengan kemajuan dimana yang sederhana menjadi yang kompleks. Padahal ada beberapa sistem sosial yang mengalami kemunduran. Karenaya harus dipahami bahwa evolusi sosial berbeda dengan evolusi biologi karena evolusi sosial meliputi upaya disengaja, revolusi, tuntutan kepentingan dan pilihan-pilihan. Evolusi sosial terjadi melalui proses belajar sedangan evolusi biologi adalah genetik dan terjadi tanpa disadari.

8. Fungsionalisme
Teori fungsionalisme dalam antropologi mulai dikembangkan oleh Bronislaw Malinowski dimana Ia menyimpulkan bahwa setiap unsur kebudayaan mempunyai fungsi sosial terhadap unsur-unsur kebudayan lainnya. Dengan demikian, kebudayaan mempunyai fungsi sosial yaitu sebagai alat untuk pemenuhan kebutuhan manusia sebagai pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Dengan kata lain bahwa kebudayan berfungsi untuk memenuhi segala kebutuhan manusia sebagai pendukung kebudayaan yang bersangkutan.

9. Struktural-Fungsionalisme
Pemikiran struktural-fungsionalisme memandang masyarakat sebagai suatu sistem dari struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Dalam hal ini, struktur yang dimaksud adalah pola-pola nyata dari hubungan antarkomponen yang ada dalam masyarakat, yang relatif bertahan lama. Jadi, masyarakat secara keseluruhan bisa dipandang sebagai sebuah struktur besar yang menaungi berbagai struktur-struktur yang lebih kecil yang ada dalam masyarakat tersebut, di mana struktur yang satu saling berhubungan dengan struktur yang lainnya.
Pemikiran struktural-fungsional memandang individu selalu menempati suatu status sosial dalam berbagai struktur sosial yang ada dalam masyarakatnya (individu umumnya memiliki lebih dari satu status sosial). Individu yang menempati suatu status sosial tertentu memiliki hak-hak dan kewajiban yang tertentu pula sesuai dengan status sosial yang disandangnya. Hak-hak dan kewajiban yang melekat pada status sosial inilah yang menentukan peran seseorang di dalam masyarakatnya.

10. Perkembangan Strukturalisme
Pemikiran strukturalis fungsionalisme yang dikembangkan oleh Radclife Brown dan pemikiran fungsionalisme oleh Bronislaw Malinowski selanjutnya berkembang sebagaimana pemikiran strukturalisme yang dilontarkan oleh Claude Levi Strauss. Levi-Strauss berpendapat bahwa struktur itu keberadaannya ada di dalam pikiran/akal manusia, dan interaksi sosial dilihatnya sebagai manifestasi/perwujudan dari struktur kognitif manusia.
Analisis struktural fungsional konvensional, secara definitif memandang masyarakat pada dasarnya adalah statis sehingga dapat dikatakan bahwa analisis struktural fungsional memang dimaksudkan sebagai insturmen memadai bagi studi-studi masyarakat sederhana dan bukan untuk masyarakat yang kompleks. Berdasarkan kendala-kendala ini maka para ahli antropologi membutuhkan model-model baru dalam memahami masyarakat yang kompleks. Salah satu konsep yang ditawarkan adalah analisa jaringan sosial. Mitchell mengusulkan bahwa image jaringan seharusnya ditanamkan ke dalam benak para ahli antropologi sewaktu akan mempelajari kehidupan masyarakat kompleks. Begitu pula Bott dan Barnes juga  menunjukkan bahwa jaringan-jaringan sosial dapat digunakan untuk menginterpretasi perilaku di dalam berbagai variasi situasi sosial yang luas, dan tidak terbatas hanya pada studi peran-peran conjugal.
Bila ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk jaringan-jaringan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi 3 jenis jaringan sosial, yaitu:
1. jaringan interest (jaringan kepentingan), di mana hubungan-hubungan sosial yang membentuknya adalah hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kepentingan
2. jaringan sentiment (jaringan emosi), yang terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial yang bermuatan emosi
3. jaringan power, di mana hubungan-hubungan sosial yang membentuknya adalah hubungan-hubungan sosial yang bermuatan power.

(Dirangkum dari BMP ISIP4210 Pengantar Antropologi, Modul 2 dan 3)




















Materi Iniasi 3: Etnografi

1.                   Etnografi dan Fieldwork
Untuk bisa mencapai kajian antropologi yang bersifat komparatif, holistik, dan global maka kajian antropologi harus menggunakan metode penelitian yang sifatnya dapat menggambarkan secara mendalam (depth description) subyek (kelompok masyarakat) yang menjadi kajiannya. Metode penelitian tersebut adalah etnografi. Dilihat dari asal katanya, etnografi berasal dari bahasa yunani kuno ethnos yang berarti bangsa dan graphy yang berarti deskripsi atau pelukisan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya etnografi mempunyai pengertian pelukisan mengenai bangsa-bangsa.
Menurut Koentjaraningrat (1986: 4.2) kegiatan etnografi ini sudah lama dilakukan, dalam bentuk catatan-catatan perjalanan para pelaut dagang bangsa Eropa Barat, tulisan para pendeta penyebar agama Kristen dan Katolik, para pegawai pemerintah jajahan atau para ahli eksplorasi  yang membuka daerah-daerah baru, tentang cara-cara hidup dan kebudayaan bangsa-bangsa di luar bangsa Eropa. Catatan-catatan ini yang tersimpan dalam perpustakaan universitas di Eropa selanjutnya menarik perhatian para ilmuwan untuk mengolahnya. Maka muncul ilmu bangsa-bangsa atau etnologi yang juga disebut antropologi. Pada perkembangan berikutnya para antropolog tidak lagi hanya bekerja di belakang meja mengolah hasil-hasil catatan lapangan yang ada, tetapi juga harus pergi ke lapangan untuk mengumpulkan data. Sehubungan dengan hal ini maka etnografi diartikan juga sebagai  tipe penelitian di mana data utama diambil dari tangan pertama dan pada setting yang sifatnya local.
Menurut Koentjaraningrat, wilayah dari kebudayaan atau subkebudayaan yang dikaji melalui etnografi meliputi (1) lokasi, lingkungan alam, dan demografi; (2) asal mula dan sejarah suku bangsa; (3) bahasa; (4) sistem teknologi; (5) sistem ekonomi; (6) organisasi sosial; (7) sistem pengetahuan; (8) sistem religi; (9) kesenian, dan (10) perubahan kebudayaan. Namun demikian, menurut Beatric peneliti cukup mengambil satu tema khusus saja.
Mekanisme yang digunakan dalam penelitian etnografi adalah dengan cara peneliti tinggal bersama dengan subyek (kelompok masyarakat) yang dikajinya. Yang harus dimengerti benar adalah, walaupun peneliti etnografi berada pada posisi sebagai orang yang sedang melakukan penelitian, tetapi dia sebenarnya bukan berada pada posisi orang yang sedang mengkaji orang (studying people) melainkan orang yang sedang belajar dari orang lain (learning from people).

Penelitian etnografi sangat mensyaratkan perlunya penelitian lapangan (fieldwork) dengan peneliti sebagai instrument utamanya. Di sini seorang peneliti akan menguji hipotesanya walaupun hipotesa ini bersifat tentatif, artinya dapat berubah. Dalam melakukan fieldwork ini peneliti memulainya dengan survey untuk mempelajari elemen-elemen dasar dari subyek penelitiannya. Di sinilah rapport telah terbentuk. Spradley (1972: 51) mengartikan rapport sebagai hubungan yang harmonis antara dua orang. Elemen penting dari fieldwork adalah mengamati, bertanya (mewawancarai), dan menuliskan apa yang dilihat dan didengar. Selanjutnya kapan peneliti etnografi dapat menyudahi penelitiannya adalah ketika dia merasa data yang harus dikumpulkannya sudah cukup, yaitu ketika gambaran umum dari kajiannya muncul terus menerus.

2.       Konsep dan Teknik Etnografi
Dalam melakukan penelitiannya, peneliti etnografi harus berpegangan pada sejumlah konsep penting yang digunakan sebagai pedoman dan pegangan seorang peneliti etnografi melakukan penelitian lapangan. Konsep-konsep yang dimaksud adalah (1) Kebudayaan, (2) Perspektif Holistik, (3) Kontekstualisasi, (4) Perspektif Emik, (5) Perspektif Etik, (6) Nonjudgmental Orientation, (7) Perbedaan Inter dan Intrabudaya, (8) Struktur dan Fungsi, (9) Simbol dan Ritual, (10) Kajian Makro dan Mikro, (11) Operationalisme.
Teknik-teknik penelitian yang dipakai dalam penelitian etnografi adalah pengamatan, percakapan dan wawancara, metode genealogi, metode life histori, serta Free-Ranging, Holistic Investigation.


3.       Evolusi Etnografi dan Teknik Penelitian Pada Masyarakat Kompleks
Penelitian etnografi ternyata telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sehubungan dengan tuntutan dari lapangan penelitiannya. Dengan demikian terjadilah evolusi dalam penelitian etnografi ini. Penelitian etnografi mulai juga digunakan untuk meneliti masyarakat kompleks atau perkotaan. Oleh karena banyaknya kelompok kebudayaan yang ada pada masyarakat kompleks, maka peneliti yang meneliti masyarakat kompleks akan memulai penelitiannya dari satu atau lebih cultural scene. Culture scene sendiri diartikan sebagai informasi yang dibagikan oleh dua orang atau lebih yang mendefiniskan beberapa aspek dari pengalaman mereka.

Penelitian etnografi klasik dirasakan tidak mudah untuk pada masyarakat yang sifatnya kompleks. Oleh karena itu kajian antropologi mulai menggunakan campuran antara metode etnografi dengan elemen-elemen dari survei.

4.       Analisa Jaringan Sosial
Analisa jaringan sosial adalah pendekatan dan teknik yang secara alami dikembangkan untuk mengkaji komunitas kecil. Akan tetapi pendekatan ini sekarang digunakan untuk mengkaji masyarakat kota. Analisis jaringan sosial dimulai dengan cara mengambil fokus pada orang tertentu (alpha) yang merupakan anggota komunitas, lingkungan ketetanggaan, atau organisasi. Setelah itu selanjutnya diikuti dengan penelitian yang lebih luas tentang pertalian antara orang-orang tersebut dengan orang-orang yang lainnya (alter). Analisis jaringan sosial digunakan untuk mendeskripsikan pola-pola hubungan antara satu orang atau satu pihak dengan orang atau pihak lainnya.
Ada dua tipe jaringan sosial, yaitu jaringan padat-ketat/close-knit network dan jarang-longgar/loose-knit network (Kottaks, 1991 : 29).

(Dirangkum dari BMP ISIP4210 Pengantar Antropologi, Modul 4)


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar secara bijak